pembangkangan
PERAHUKU PEMBAWA MAUT
Oleh :Addien Saiya
Memandang dalam kesuraman. ketika diriku beranjak 10 tahun. Teriris ganasnya arus sungai gendol. Sang pemimpin selalu menjaga dan menemaniku disetiap detik pintaku. Sangat membekas dalam lubuk hati. Ketika Perahu kertas yang pernah ibu ajarkan kepadaku telah memporak-porandakan kehidupan kami.
Ketika itu... api berkobar dengan ganasnya sampai aku mengabaikan larangan ibuku sendiri.
“Sudahlah, untuk hari ini ayah dirumah saja. Dan kau stev, temani ibu kepasar. Firasat ibu tidak enak hari ini.” Pintanya.
“sudahlah Anna, biarkan saja dia ikut dengan ayah.”
“Tidak mau, stev mau ikut ayah saja. Ayah saja tidak melarang. Stev ingin melayarkan perahu ini bersama ayah.”
Ibupun tak mampu membentung keinginanku. Ia membiarkan ku pergi dengan ayah mencari sesuap nasi diatas sungai Gendol.
Ketika aku asik dengan perahuku.
“Stev, jangan telalu ketengah. Arusnya deras.”
Seperti mengabaikan larangan ayah, aku tak sadar ternyata aku telah berada hampir ditengah sungai itu.
“ayah.. perahunya bagus. Sini temani stev.”
Ayahpun menghentikan aktifitasnya sejenak. Dan menghapiriku.
Tak seberapa lama, terlihat para penambang pasir bergegas naik kebibir sungai. Dan tampak dari kejauhan beberapa orang berlarian . Namun kami tak menghiraukan apa yang sebenarnya mereka lakukan. Seolah kami tak memiliki mata dan telinga. Kami asik dengan perahu yang tadi kulayarkan. Namun Aku sempat bingung, kenapa air sungai berubah menjadi keruh. Padahal tak ada setetes hujan pun .
Seorang penambang berteriak “heeiii,,, cepat keluar dari sungai.”
Namun kami tak mendengar teriakan itu. Yang kami dengar malah suara gemuruh yang tak tau dari mana asalnya.
Selang beberapa menit, ternyata arus besar datang dengan ganasnya. Tak sempat kami melarikan diri. Ia telah menelan kami berdua. Perahuku hancur. Seketika suasana berubah menjadi mencekam. Kamipun tergulung derasnya banjir lahar dingin dari gunung merapi.
“Ayahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!”
“steven.. dimana kau!!”
Tiba-tiba suara itu lenyap dari pendengaranku. Kamipun terpisah dan sejak itu semua menjadi gelap.
Beberapa jam kemudian, seorang penambang menemukanku tergeletak tak berdaya di pinggir sungai. Lalu mereka membawa ku ke RS. Ternyata aku koma, 2 hari tak sadarkan diri. Tapi,, Subhanallah ternyata mukjizat menyelamatkan ku dari musibah itu.
“Ayah..Ayah..Ayah..!” suaraku lemah menusuk telinga ibuku yang berada disisiku.
“kamu sudah sadar nak”. Sambil tersenyum tipis
“ibuuuuu..” suaraku masih sangat lemah. Dan aku teringat ayah.
“ayah mana bu?”
“sudah jangan pikirkan ayahmu dulu. Cepet sembuh dulu. Biar ibu tidak kesepian lagi.”
Mataku terus menatap wajah yang mulai keriput itu. ternyata matanya berlinang. ia memelukku dengan erat. Sepertinya tak mau kehilanganku.
Setelah 2 hari dirawat, akhirnya aku diperbolehkan pulang.
“Bu.. ayah mana”. Terus ku bertanya kepada ibuku.
Tanpa menjawabnya, ia langsung membawaku kesebuah tempat yang cukup sepi. Di beberapa sudut kutemukan beberapa bunga kamboja. Aku tak mengerti kenapa aku dibawa kesana.
“Stevent,, itu ayahmu. Dia pergi ketika menemanimu bermain perahu disungai.”
“Ayah!!”
Tenyata ia telah terbaring kaku berselimut kain putih dan selamanya tak akan terbangun lagi. Seketika itupun tangisku pecah.
“Ayah.. kenapa kau pergi begitu cepat! Ayahhhhhhhhhhhhhh!!!”
Sampai saat ini, sesekali ku hadir di sungai itu. Mengenang kejadian 10 tahun lalu bersama ayah. Melayarkan perahu kertasku yang selalu mengingatkan ku pada ayah, pada senyumnya, tawanya, dan kebaikannya. Ayah kan selalu ada dalam hatiku.
0 Response to "pembangkangan"
Posting Komentar